Sejak kecil, saya gemar berpetualang dan menjelajahi wilayah-wilayah baru. Dimanapun saya berada, saya selalu menerapkan konsep “Tri Hita Karana”. Tri Hita Karana merupakan konsep dalam keyakinan saya yang mengedepankan hubungan antar individu, agar senantiasa dapat hidup berdampingan, saling bertegur sapa satu dengan yang lain, tidak ada riak-riak kebencian, penuh toleransi dan rasa damai. Secara leksikal Tri Hita Karana dapat diartikan sebagai tiga penyebab kesejahteraan, yang didalamnya memuat hubungan kita pada sisi ketuhanan, kehidupan, dan lingkungan. Dengan selalu mengingatkan diri saya pada konsep ini, saya telah merasakan banyak kemudahan dalam melakukan proses adaptasi dimanapun saya berada.
Pada pertengahan tahun 2024, saya bergabung dengan Pesisir Lestari (YPL) untuk ditempatkan di Lombok Timur, tepatnya di Desa Jerowaru, kawasan Teluk Jor, Nusa Tenggara Barat. Di lokasi ini, kami di Pesisir Lestari mendorongkan pengelolaan ekosistem pesisir berbasis masyarakat (community-led) yang berpotensi menjadi wilayah OECM Perairan, Penempatan di lokasi ini mempertemukan saya dengan beberapa kelompok masyarakat dengan aktivitas yang berbeda-beda dan membawa saya melihat langsung bagaimana praktik masyarakat dalam mengelola dan menjaga kawasan pesisirnya dengan menerapkan kearifan lokal yang mereka miliki. Saya sangat menikmati pengalaman baru ini, dimana dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja saya sebelumnya di bidang perikanan dan konservasi, pekerjaan baru ini membawa saya ke dalam lingkungan dan perjalanan baru yang mengharuskan saya keluar dari zona nyaman saya.
Saat ini, sudah hampir empat bulan saya di Desa Jerowaru, rasanya selalu saja ada pelajaran dan pengetahuan baru yang saya dapatkan saat berada di tengah masyarakat, mulai dari sejarah, kondisi sosial masyarakat hingga beragam hal dan peristiwa yang pernah terjadi di lingkungan pesisir mereka. Hal menarik pertama yang saya temukan adalah adanya aktor pengelola kawasan pesisir yang cukup beragam disini. Mulai dari Lembaga Pengelola Awik-Awik, Lembaga Pemantau dan Pelestarian Ekosistem Pesisir hingga para pemuda penggerak perubahan di kawasan hutan mangrove. Hal menarik berikutnya yang membuat saya bersyukur berada disini adalah berada dekat dengan alam, yaitu di kawasan ekowisata berbasis mangrove yang menjadi lahan belajar saya disini.
Ekowisata Bale Mangrove: Tempatku Melepas Penat dan Belajar Soal Ekowisata
Suatu sore, selepas berkegiatan, saya menyempatkan diri untuk menikmati pesona hutan mangrove sembari beristirahat sejenak. Disini saya mengobrol dengan rekan-rekan pengelola Ekowisata Bale Mangrove, soal hutan dan bagaimana mereka memulai inisiasi pengelolaan hutan mangrove. Lukman dan Andre adalah dua orang inisiator dari ekowisata ini dan dari mereka inilah saya belajar banyak, tak hanya soal ekowisata namun juga soal kegigihan merealisasikan ide.
Ekowisata Bale Mangrove resmi berdiri pada tahun 2021, berlokasi di dusun Poton Bako, desa Jerowaru, Lombok Timur. Dalam bahasa Sasak, Bale berarti Rumah. Memaknai arti nama tersebut, para pendirinya terinspirasi untuk menjadikan Ekowisata Bale Mangrove ini bukan hanya sekedar menjadi tempat berwisata, namun juga bisa menjadi “rumah” dimana pengunjung bisa belajar dan memberi dampak positif bagi masyarakat di sekitarnya.
Andre menjelaskan, “Selama empat tahun Bale Mangrove berjalan hingga kini, bukanlah sesuatu yang mudah. Ia mengaku banyak sekali hal dan tantangan yang dihadapi. Namun dengan terus memegang semangat serta visi misi kami untuk menjadikan Ekowisata Bale Mangrove sebagai destinasi wisata yang memegang nilai-nilai konservasi dan keberlanjutan, atas dasar inilah perjuangan kami banyak mendapat perhatian dan dukungan dari berbagai stakeholders. Dukungan inilah yang menguatkan tim Bale Mangrove untuk terus bertumbuh hingga hari ini.”
Ditambahkan pula oleh Lukman, alasan mengapa mereka memilih konsep ekowisata sebagai branding atas bentuk pengelolaan dan pemanfaatan yang mereka lakukan adalah karena konsep ini akan dapat sejalan dengan ide untuk bertanggung jawab pada alam dan komitmen untuk memberi manfaat bagi masyarakat.
Menyaksikan Implementasi Traditional Ecological Knowledge: Awik-awik di Ekowisata Bale Mangrove, Desa Jerowaru
Latar belakang pengelolaan kawasan pesisir di Teluk Jor diinisiasi atas dasar keresahan masyarakat terhadap kondisi pesisir yang tidak terkelola dan pemanfaatannya tidak berdasarkan dengan aturan yang disepakati maupun regulasi yang berlaku.
Menurut Lukman, “Dulunya sebelum ada Ekowisata Bale Mangrove, kawasan hutan mangrove ini terbengkalai dan tidak terurus. Hutan ini menjadi kawasan kumuh yang dipenuhi sampah dan dikatakan oleh masyarakat sebagai sarang nyamuk. Padahal di sisi lain, masyarakat memiliki kepercayaan bahwa hutan mangrove adalah benteng yang dapat melindungi masyarakat bila terjadi marabahaya di laut.” Selanjutnya, Lukman menjelaskan, awalnya mereka memilih untuk mengembangkan ekowisata didasari rasa tanggung jawab kepada alam dan keinginan untuk memberi manfaat bagi masyarakat. Karena itu, kawasan ekowisata ini tidak hanya sekedar sebagai destinasi wisata saja, namun juga bisa dimanfaatkan sebagai laboratorium lapangan bagi siapapun yang ingin melakukan penelitian terkait pesisir, khususnya dibidang mangrove ataupun pengembangan wisata lain kedepannya.
Di kawasan ini berlaku aturan yang berupa awik-awik, yaitu sebuah pranata atau sekumpulan aturan yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat atas dasar kesepakatan bersama untuk mengatur hubungan antar manusia dengan manusia serta bagaimana bentuk pemanfaatan dan kewajiban dalam pengelolaan lingkungan yang mereka miliki. Awik-awik yang berlaku di Desa Jerowaru masuk dalam Awik-Awik Kawasan Teluk Jor, yang dikelola oleh Lembaga Pemangku Awig-Awig Teluk Jor (LPATJ). Awik-Awik ini adalah turunan dari Perda Lombok Timur No. 9 Tahun 2006 yang memuat tentang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai secara partisipatif.
Dengan semangat untuk menata kembali pengelolaan dan pemanfaatan kawasan pesisir, di Desa Jerowaru kemudian dibentuk sebuah lembaga desa yang dinamakan Bale Langgak Segare melalui Peraturan Desa Jerowaru No. 11 Tahun 2023 tentang Lembaga Pemantauan dan Pelestarian Ekosistem Pesisir (LP2EP) Bale Langgak Segare. Kolaborasi yang terjalin antar berbagai pihak seperti Pokmaswas Kompas, Pokdarwis Bale Mangrove, Lembaga Pemangku Awik-Awik Teluk Jor (LPATJ), dan pemerintah desa dalam mengimplementasikan traditional ecological knowledge; awik-awik ini memperlihatkan kepada kita bagaimana kesepakatan dan komitmen yang dijalankan dengan baik akan mampu memulihkan sebuah kawasan dan memberikan manfaat bagi masyarakatnya.
Selama berada di tengah masyarakat desa Jerowaru ataupun saat berkunjung ke Ekowisata Bale Mangrove, saya sangat bersyukur dan senang sekali karena bisa bertukar cerita maupun pengalaman yang menambah wawasan saya serta mendorong saya untuk memaknai berbagai hal. Bagi saya, Ekowisata Bale Mangrove ini tidak hanya sekedar menjadi wilayah kerja saja, tapi saya merasa seperti menemukan rumah dan keluarga baru di tempat ini. Tidak hanya itu, tempat ini juga sangat mengakomodir salah satu kegemaran saya, yaitu berkemah. Terkadang di setelah melakukan kegiatan di lapangan, saya lebih memilih menginap di lokasi ini sambil berkemah bersama mereka. Menikmati alam dan menyaksikan bagaimana sekelompok anak muda dapat berkontribusi dalam mengimplementasikan awik-awik yang mereka miliki sejak dulu ke dalam konsep ekowisata sebagai aksi nyata konservasi lingkungan pesisir.
Comments