Memiliki pengalaman tinggal dan bekerja di pesisir serta latar belakang pendidikan di bidang perikanan, ternyata menumbuhkan kecintaan saya yang tidak main-main terhadap laut, dan ini baru saya sadari beberapa tahun terakhir ini. Rasa cinta ini kemudian memunculkan banyak sekali pertanyaan berputar dalam kepala saya, mulai dari soal bagaimana kita dapat terus menjalankan tradisi leluhur, darimana asal-usul dari tradisi tersebut hingga bagaimana kita bisa mempertahankan keberadaan ikan-ikan di laut jangan sampai punah. Tak berhenti disitu, saya juga tertarik pada hubungan antara lingkungan dan budaya.
Pada tahun 2023 lalu, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada mengadakan Environmental History Summer School. Untuk mengikuti seleksi menjadi peserta, saya harus menulis sebuah esai. Saya menulis esai tentang tradisi Mane’e yang berasal dari Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, yang memperlihatkan pada kita bagaimana budaya masyarakat dapat berperan pada pelestarian lingkungan. Tradisi Mane’e masih dilakukan hingga kini pada setiap pertengahan tahun dan ramai orang datang untuk menyaksikannya. Pelaksanaan tradisi ini sederhananya adalah menutup beberapa wilayah perairan yang menjadi lokasi tangkap selama periode waktu tertentu, kemudian dibuka bersama-sama oleh masyarakat dan mereka menangkap ikan-ikan menggunakan daun kelapa.
Bagi saya, tradisi Mane’e ini mengandung makna yang terlihat sederhana namun besar dampaknya, yakni membiarkan alam pulih dan menangkap secukupnya. Sangat menarik! Saat menulis esai tersebut saya sambil membayangkan bagaimana para leluhur melakukan praktik tersebut pada masanya dahulu dan memikirkan darimana pengetahuan itu mereka dapatkan? Bila sampai hari ini kita masih dapat mengikuti tradisi ini, akankah ini bertahan memasuki masa depan? Bagaimana anak muda bisa menyelaraskan pengetahuan dan praktik-praktik pengelolaan tradisional tersebut dengan kehidupan yang modern seperti saat ini ?
Singkat cerita, esai tersebut membawa keberuntungan bagi saya, dan berangkatlah saya ke Yogyakarta untuk mengikuti Summer School di Universitas Gadjah Mada. Ekspektasi awal saya terhadap Summer School adalah peserta akan didominasi oleh orang-orang berlatar belakang lingkungan, namun ketika kelas dimulai pada hari pertama dan kami semua memperkenalkan diri, saya dapati kalau kelas ini sungguh sangat inklusif! Pesertanya berasal dari berbagai tara belakang bidang ilmu dan profesi, ada yang penulis, jurnalis, arsitektur, peneliti antropologi, pegiat lingkungan, bahkan ada yang berlatar belakang hukum.
Selama kurang lebih tujuh hari, termasuk kunjungan ke lapangan, kami belajar tentang environmental history, yang kebanyakan membahas lingkungan di darat seperti sejarah perkebunan kopi, land grabbing di perkebunan sawit, bahkan ada pula soal sejarah pertambangan, namun saya penasaran kenapa hanya sedikit yang membahas tentang lingkungan di pesisir dan laut, padahal jika dilihat kondisi geografis negeri ini lebih dari 70% adalah perairan. Barulah pada saat field trip, penasaran saya terobati. Lokasi field trip kami saat itu ke kawasan pesisir Gunung Kidul. Dalam field trip tersebut kami dibagi dalam beberapa kelompok, dan ditugaskan untuk mengeksplorasi beberapa topik-topik sejarah lingkungan. Kelompok saya memilih topik Traditional Ecological Knowledge dengan studi pengamatan Gunung Kidul, yang karakteristik nelayan dan lautnya berbeda dengan lokasi-lokasi yang pernah saya kunjungi sebelumnya di bagian Indonesia timur.
Tentang Traditional Ecological Knowledge (TEK)
Traditional Ecological Knowledge (TEK) kembali menarik banyak perhatian para pegiat lingkungan saat ini. Sebenarnya konsep TEK ini sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu, dimana ekologi sebagai lingkungan tempat tinggal makhluk hidup tidak bisa dipisahkan dengan manusia yang hidup memanfaatkan lingkungan sebagai sumber penghidupan melalui pengetahuan dan praktik tradisional.
Summer School ini menghasilkan pemahaman pada diri saya soal TEK. Salah satu konsep yang saya dapatkan disini adalah konsep Traditional Ecological Knowledge sebagaimana disampaikan Fikret Berkes, yaitu sebagai sebuah kumpulan pengetahuan, praktik, keyakinan dan hubungan sesama makhluk hidup dan dengan lingkungannya, yang kemudian berkembang melalui proses yang adaptif dan kemudian diwariskan dari generasi ke generasi, melalui transmisi budaya, mengenai hubungan makhluk hidup (termasuk manusia) dengan sesamanya dan lingkungannya.
TEK atau banyak disebut sebagai local wisdom merupakan salah satu pedoman masyarakat dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Saat di Gunung Kidul, kami bertemu dengan beberapa orang tokoh masyarakat di pesisir pantai Watu Kodok. Mereka menceritakan bagaimana mereka bisa mempertahankan wilayah atau tempat tinggal mereka dari penggusuran oleh pihak investor untuk industri wisata. Masyarakat Watu Kodok percaya bahwa jika penggusuran terjadi maka bencana lingkungan akan terjadi. Mereka sudah menempati wilayah pantai Watu Kodok sejak zaman leluhur mereka, bila tergusur maka bukan hanya kehilangan ruang hidup, namun masyarakat juga akan kehilangan sumber mata pencaharian seperti rumput laut, ikan-ikan, kerang, dan Lobster. Bahkan identitas mereka sebagai orang pesisir pun akan hilang dan terpaksa harus memulai hidup dengan lingkungan yang baru.
Memahami Pranata Mangsa
Di Pantai Siung Gunung Kidul kami juga dipertemukan dengan beberapa tokoh masyarakat yang menjadi narasumber diskusi kami, sepanjang pembahasan para narasumber lebih banyak menggunakan bahasa Jawa Krama, bagi saya yang berasal dari Manado percakapan ini mengharuskan saya untuk mendengar dengan seksama, dan dibarengi dengan banyak bertanya kepada rekan yang lebih paham bahasa Jawa Krama tersebut agar bisa terlibat dan memahaminya.
Walaupun sempat merasa lost in translation salah satu topik yang membahas soal Pranata Mangsa sangat menarik untuk diikuti, Pranata Mangsa merupakan sistem penanggalan atau kalender Jawa yang dipakai sebagai pedoman dalam aktivitas pertanian seperti bercocok tanam dan juga aktivitas di laut seperti penangkapan ikan. Para narasumber banyak bercerita tentang bagaimana mereka menanam padi, umbi-umbian, singkong dan tanaman lainnya dengan mengikuti panduan Pranata Mangsa, begitupun dengan kegiatan di laut, kapan sebaiknya melaut masih berpedoman pada Pranata mangsa. Namun sayangnya, kegiatan di laut seperti menangkap ikan di tahun-tahun terakhir ini sudah sulit dilakukan jika masih mengacu pada Pranata Mangsa. Bahkan akibat pergeseran musim, dan perubahan cuaca yang tidak menentu memaksa para nelayan harus membawa dan menggunakan alat tangkap lebih dari satu macam.
Pak Parno melalui obrolan santai di samping perahu bersama beberapa rekan satu kelompok menjelaskan, dahulu berpuluh-puluh tahun yang lalu nelayan hanya perlu membawa satu alat tangkap saja saat melaut, seperti Pancing Ulur, kemudian pada musim hujan nelayan membawa alat tangkap Krendet untuk menangkap Lobster, Namun sekarang keduanya harus dibawa bersamaan, ditambah dengan alat tangkap Rawai Dasar (Longline) dan juga Pukat (Purse Seine). Mengapa semuanya harus dibawa bersamaan? Karena hasil dari satu alat tangkap saja sudah tidak cukup, kadang ketika memasang Rawai Dasar dan sembari menunggu, nelayan memancing dengan alat tangkap Pancing Ulur. Bukan hanya alat tangkap yang bertambah dan menyesuaikan dengan perubahan iklim, lokasi tangkap pun semakin jauh, dibandingkan dengan lokasi tangkap 10-15 tahun yang lalu tidak lebih dari 2 Mil Laut, namun sekarang melebihi 2 Mil Laut, akibatnya biaya operasional seperti bahan bakar pun bertambah.
Perubahan iklim sangat mempengaruhi aktivitas masyarakat terutama nelayan di pesisir Gunung Kidul, yang bisa berdampak pada semakin meningkatnya biaya operasional melaut, dan juga penyesuaian jenis alat tangkap. Dari pertemuan tersebut, kepala saya kembali dipenuhi pertanyaan-pertanyaan baru. Bila perubahan iklim mempengaruhi Traditional Ecological Knowledge, seberapa jauh pengaruhnya? Hingga kapan dapat tetap menjadi acuan masyarakat lokal dalam beraktivitas?
Tulisan ini bermanfaat